PERI PENABUR BIBIT
Dongeng
Hari ini adalah hari spesial buat
Peri Semila. Sudah lama sekali Peri Semila menanti momen ini. Hampir sepanjang
dua belas tahun masa hidupnya.
Dengan hati-hati ia mengintip
dari balik pohon besarnya. Peri Semila menatap dengan mata berbinar-binar upara
penyerahan kantung bibit kepada para Penabur Bibit. Ia menonton Peri Haiza
menerima sekarung penuh harta karun bibitnya. Bukan main senangnya hati Peri
Semila. Dalam hitungan menit, dia juga akan menerima bibitnya. Peri Semila
sudah membayangkan sekarung penuh bibit yang akan ia sebar.
Namanya akhirnya dipanggil.
Dengan perasaan yang tiba-tiba gugup namun senang, Peri Semila keluar dari balik
pohonnya. Akhirnya usianya genap dua belas tahun. Ia bisa menjadi Peri Penabur
Bibit sepenuhnya.
“Peri Semila,” mulai Ratu Peri,
“kuberikan sekantung bibit kepadamu. Sebarkanlah. Buatlah kemuliaan di muka
bumi dengan menanam pohon.”
Ternyata untuk peri pemula
seperti Peri Semila, ia hanya menerima sekantung kecil bibit. Tidak seperti
Peri Haiza yang mendapatkan sekarung. Namun Peri Semila tidak lantas kecewa.
Menerima sedikit bibit sudah cukup membuat tangannya gemetar saking bahagianya.
Peri Semila naik kembali ke
pohonnya hingga mencapai puncaknya. Dengan senyum mengembang ia menjejak dan
tubuhnya segera melayang di udara. Angin membelai pipi dan rambutnya saat Peri
Semila terbang tinggi di udara. Karena selama ini ia rajin berlatih, Peri
Semila dengan mudah menemukan daerah tempat ia harus menyebarkan bibitnya.
Dari ketinggian Peri Semila memperhatikan
daerah di bawahnya. Tampak tanah luas yang agak tandus. Hanya sedikit tanaman
yang meranggas di sana. Tak jauh dari situ terlihat pemukiman manusia.
“Oh, kasihan sekali. Para
penghuni rumah-rumah itu tentunya sangat merana. Hampir tidak ada pohon yang
tumbuh di sekitar rumah mereka,” gumam Peri Semila dengan perasaan iba.
Ia meraih kantungnya yang ia
gantung di leher dengan sulur tanaman, seperti sebuah tas kecil. Ia pun
mengambil segenggam bibit. Lalu Peri Semila berputar-putar di udara dengan gerakan
indah. Bibit-bibit berlompatan dari tangannya. Bibit-bibit itu tampak
berkilauan tertimpa sinar matahari sebelum jatuh ke tanah dan dalam sekejap
lenyap tak lagi terlihat.
Peri Semila memejamkan matanya
dan berdoa dengan khusyuk. Ia berharap bibit-bibit itu segera tumbuh menjadi
pohon-pohon besar.
Di musim kemarau, sesekali Peri
Semila meminta angin agar meniup awan mendung ke daerah tempat ia menabur
bibit. Agar hujan turun dan membantu bibit-bibitnya tumbuh.
Peri Semila sangat bahagia ketika
kuncup-kuncup pertama muncul. Ia sangat sering, bahkan terlalu sering
mendatangi tanaman-tanamannya yang baru saja lahir. Sebagai peri penabur bibit,
Peri Semila sangatlah berkasih saying terhadap tumbuhan.
Suatu hari, Peri Semila harus
pergi jauh. Ia ditugasi merawat kebun bunga milik kerajaan peri di seberang
lautan. Karena jaraknya yang jauh, ia jadi tidak bisa memantau pertumbuhan
bibit-bibitnya. Namun kata Peri Haiza,
“Tidak apa-apa, Semila. Matahari
dan hujan akan menjaga pohon-pohonmu. Lagipula, setelah kamu menabur bibit,
selanjutnya adalah tugas manusia untuk merawatnya.”
Peri Semila sangat lega
mendengarnya.
Bulan demi bulan pun berlalu.
Akhirnya Peri Semila kembali ke kampung halamannya. Kebun bunga yang ia rawat
sudah menjadi kebun bunga paling indah di kerajaan peri. Ratu Peri sangat
bangga padanya. Peri Semila sudah siap untuk menerima bibit baru yang akan ia
sebar. Namun sebelum melakukan tugasnya sebagai penabur bibit, ia ingin
menengok tumbuhan pertama yang telah ia tanam. Dengan jantung berdebar-debar,
Peri Semila terbang ke tempat tersebut. Sambil mengira-ngira sudah seberapa
tinggi pohonnya.
Peri Semila yakin ia tidak lupa
tempatnya. Namun, mengapa semuanya tampak berbeda? Di mana tanah yang luas itu?
Di mana pohon-pohonnya? Dengan hati susah ia pulang. Peri Semila menemui Peri
Haiza untuk meminta nasihat. Ia sungguh tak mengerti mengapa ia tidak bisa
menemukan daerah tempat bibit pertamanya ia sebar.
“Pohon-pohonku lenyap,” kata Peri
Semila dengan suara resah. Peri Haiza dengan wawasannya yang bijaksana,
akhirnya memahami permasalahan Peri Semila. Katanya,
“Semila, kamu tidak lupa tempat
bibit pertamamu disebar. Karena peri penabur bibit selalu ingat. Tetapi,
pohon-pohonmu memang lenyap.”
“Apa?” kata Peri Semila. Suaranya
bergetar karena menahan air mata yang hendak jatuh.
Peri Haiza mengangguk lembut.
“Bagaimana mungkin?” Rasa-rasanya
Peri Semila tak ingin percaya.
“Manusia menggusurnya. Mereka
menggantinya dengan beton dan aspal.”
“Mengapa mereka melakukannya?
Padahal di sana sangat tandus. Tanahnya kering dan terlalu banyak rumah tanpa
pohon.”
Peri Haiza tidak dapat
menjawabnya. Ia tidak tahu mengapa manusia melakukannya. Namun ia menasihati
Peri Semila agar tidak bersedih dan tetap terus melakukan tugasnya yang mulia. Yaitu
menabur bibit di muka bumi.
Walaupun sudah berusaha untuk tidak
bersedih, tetap saja Peri Semila menangis sepanjang malam. Esok harinya ia
bangun tidur dengan kedua mata bengkak. Namun semalam dalam tidurnya ia
bermimpi. Sebatang pohon mengajaknya berbicara dan memberinya sebuah ide.
Karenanya Peri Semila kembali bersemangat.
Peri Semila menjejak dari puncak
pohonnya. Dengan tekad baru ia terbang ke angkasa menuju tempat tugasnya.
Kantung bibit sudah siap terkalung di lehernya.
Dengan gerakan yang sudah
dipelajarinya, Peri Semila berputar-putar di udara. Bibit-bibit berlompatan
dari tangannya dan jatuh ke bumi. Namun, tidak semua bibit ia sebar. Di dalam
kantungnya masih tersisa beberapa. Inilah rencana Peri Semila.
Ketika hari gelap, ia terbang
turun mendekati pemukiman manusia. Dengan hati-hati ia masuk ke dalam kamar
tidur seorang anak. Karena kekuatan yang dimilikinya sebagai peri penabur bibit,
Peri Semila bisa menyelinap masuk melalui pintu yang terkunci.
Tanpa menimbulkan suara, Peri
Semila meletakkan bibit di balik bantal anak yang sedang tidur. Lalu ia
meniupkan serbuk mimpi tentang menanam pohon kepada anak tersebut. Setelahnya
Peri Semila pergi ke rumah lainnya dan melakukan hal serupa. Begitu terus
hingga kantung bibitnya kosong.
“Mungkin aku tidak bisa mencegah
manusia menebang pohon-pohon. Tapi aku akan berusaha mengajari mereka untuk
berkasih sayang kepada tumbuhan.”
Peri Semila terbang kembali ke
rumahnya. Hatinya terasa sangat bahagia dan dipenuhi harapan besar.
Di lain tempat, seorang anak baru
saja terbangun dari tidurnya. Ia menemukan bibit di balik bantalnya. Semalam ia
bermimpi bertemu dengan peri yang mengajarinya cara menanam pohon.
“Ajaib,” gumam anak itu dengan
mata berbinar-binar. Dan tanpa berlama-lama, segera saja ia mencari tanah untuk
menyemai bibit ajaibnya.