Minggu, 17 September 2017

PERI PENABUR BIBIT

ilustrasi-dongeng-peri-penabur-bibit

Dongeng

Hari ini adalah hari spesial buat Peri Semila. Sudah lama sekali Peri Semila menanti momen ini. Hampir sepanjang dua belas tahun masa hidupnya.
Dengan hati-hati ia mengintip dari balik pohon besarnya. Peri Semila menatap dengan mata berbinar-binar upara penyerahan kantung bibit kepada para Penabur Bibit. Ia menonton Peri Haiza menerima sekarung penuh harta karun bibitnya. Bukan main senangnya hati Peri Semila. Dalam hitungan menit, dia juga akan menerima bibitnya. Peri Semila sudah membayangkan sekarung penuh bibit yang akan ia sebar.

Namanya akhirnya dipanggil. Dengan perasaan yang tiba-tiba gugup namun senang, Peri Semila keluar dari balik pohonnya. Akhirnya usianya genap dua belas tahun. Ia bisa menjadi Peri Penabur Bibit sepenuhnya.
“Peri Semila,” mulai Ratu Peri, “kuberikan sekantung bibit kepadamu. Sebarkanlah. Buatlah kemuliaan di muka bumi dengan menanam pohon.”
Ternyata untuk peri pemula seperti Peri Semila, ia hanya menerima sekantung kecil bibit. Tidak seperti Peri Haiza yang mendapatkan sekarung. Namun Peri Semila tidak lantas kecewa. Menerima sedikit bibit sudah cukup membuat tangannya gemetar saking bahagianya.
Peri Semila naik kembali ke pohonnya hingga mencapai puncaknya. Dengan senyum mengembang ia menjejak dan tubuhnya segera melayang di udara. Angin membelai pipi dan rambutnya saat Peri Semila terbang tinggi di udara. Karena selama ini ia rajin berlatih, Peri Semila dengan mudah menemukan daerah tempat ia harus menyebarkan bibitnya.
Dari ketinggian Peri Semila memperhatikan daerah di bawahnya. Tampak tanah luas yang agak tandus. Hanya sedikit tanaman yang meranggas di sana. Tak jauh dari situ terlihat pemukiman manusia.
“Oh, kasihan sekali. Para penghuni rumah-rumah itu tentunya sangat merana. Hampir tidak ada pohon yang tumbuh di sekitar rumah mereka,” gumam Peri Semila dengan perasaan iba.
Ia meraih kantungnya yang ia gantung di leher dengan sulur tanaman, seperti sebuah tas kecil. Ia pun mengambil segenggam bibit. Lalu Peri Semila berputar-putar di udara dengan gerakan indah. Bibit-bibit berlompatan dari tangannya. Bibit-bibit itu tampak berkilauan tertimpa sinar matahari sebelum jatuh ke tanah dan dalam sekejap lenyap tak lagi terlihat.
Peri Semila memejamkan matanya dan berdoa dengan khusyuk. Ia berharap bibit-bibit itu segera tumbuh menjadi pohon-pohon besar.
Di musim kemarau, sesekali Peri Semila meminta angin agar meniup awan mendung ke daerah tempat ia menabur bibit. Agar hujan turun dan membantu bibit-bibitnya tumbuh.
Peri Semila sangat bahagia ketika kuncup-kuncup pertama muncul. Ia sangat sering, bahkan terlalu sering mendatangi tanaman-tanamannya yang baru saja lahir. Sebagai peri penabur bibit, Peri Semila sangatlah berkasih saying terhadap tumbuhan.
Suatu hari, Peri Semila harus pergi jauh. Ia ditugasi merawat kebun bunga milik kerajaan peri di seberang lautan. Karena jaraknya yang jauh, ia jadi tidak bisa memantau pertumbuhan bibit-bibitnya. Namun kata Peri Haiza,
“Tidak apa-apa, Semila. Matahari dan hujan akan menjaga pohon-pohonmu. Lagipula, setelah kamu menabur bibit, selanjutnya adalah tugas manusia untuk merawatnya.”
Peri Semila sangat lega mendengarnya.
Bulan demi bulan pun berlalu. Akhirnya Peri Semila kembali ke kampung halamannya. Kebun bunga yang ia rawat sudah menjadi kebun bunga paling indah di kerajaan peri. Ratu Peri sangat bangga padanya. Peri Semila sudah siap untuk menerima bibit baru yang akan ia sebar. Namun sebelum melakukan tugasnya sebagai penabur bibit, ia ingin menengok tumbuhan pertama yang telah ia tanam. Dengan jantung berdebar-debar, Peri Semila terbang ke tempat tersebut. Sambil mengira-ngira sudah seberapa tinggi pohonnya.
Peri Semila yakin ia tidak lupa tempatnya. Namun, mengapa semuanya tampak berbeda? Di mana tanah yang luas itu? Di mana pohon-pohonnya? Dengan hati susah ia pulang. Peri Semila menemui Peri Haiza untuk meminta nasihat. Ia sungguh tak mengerti mengapa ia tidak bisa menemukan daerah tempat bibit pertamanya ia sebar.
“Pohon-pohonku lenyap,” kata Peri Semila dengan suara resah. Peri Haiza dengan wawasannya yang bijaksana, akhirnya memahami permasalahan Peri Semila. Katanya,
“Semila, kamu tidak lupa tempat bibit pertamamu disebar. Karena peri penabur bibit selalu ingat. Tetapi, pohon-pohonmu memang lenyap.”
“Apa?” kata Peri Semila. Suaranya bergetar karena menahan air mata yang hendak jatuh.
Peri Haiza mengangguk lembut.
“Bagaimana mungkin?” Rasa-rasanya Peri Semila tak ingin percaya.
“Manusia menggusurnya. Mereka menggantinya dengan beton dan aspal.”
“Mengapa mereka melakukannya? Padahal di sana sangat tandus. Tanahnya kering dan terlalu banyak rumah tanpa pohon.”
Peri Haiza tidak dapat menjawabnya. Ia tidak tahu mengapa manusia melakukannya. Namun ia menasihati Peri Semila agar tidak bersedih dan tetap terus melakukan tugasnya yang mulia. Yaitu menabur bibit di muka bumi.
Walaupun sudah berusaha untuk tidak bersedih, tetap saja Peri Semila menangis sepanjang malam. Esok harinya ia bangun tidur dengan kedua mata bengkak. Namun semalam dalam tidurnya ia bermimpi. Sebatang pohon mengajaknya berbicara dan memberinya sebuah ide. Karenanya Peri Semila kembali bersemangat.
Peri Semila menjejak dari puncak pohonnya. Dengan tekad baru ia terbang ke angkasa menuju tempat tugasnya. Kantung bibit sudah siap terkalung di lehernya.
Dengan gerakan yang sudah dipelajarinya, Peri Semila berputar-putar di udara. Bibit-bibit berlompatan dari tangannya dan jatuh ke bumi. Namun, tidak semua bibit ia sebar. Di dalam kantungnya masih tersisa beberapa. Inilah rencana Peri Semila.
Ketika hari gelap, ia terbang turun mendekati pemukiman manusia. Dengan hati-hati ia masuk ke dalam kamar tidur seorang anak. Karena kekuatan yang dimilikinya sebagai peri penabur bibit, Peri Semila bisa menyelinap masuk melalui pintu yang terkunci.
Tanpa menimbulkan suara, Peri Semila meletakkan bibit di balik bantal anak yang sedang tidur. Lalu ia meniupkan serbuk mimpi tentang menanam pohon kepada anak tersebut. Setelahnya Peri Semila pergi ke rumah lainnya dan melakukan hal serupa. Begitu terus hingga kantung bibitnya kosong.
“Mungkin aku tidak bisa mencegah manusia menebang pohon-pohon. Tapi aku akan berusaha mengajari mereka untuk berkasih sayang kepada tumbuhan.”
Peri Semila terbang kembali ke rumahnya. Hatinya terasa sangat bahagia dan dipenuhi harapan besar.
Di lain tempat, seorang anak baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menemukan bibit di balik bantalnya. Semalam ia bermimpi bertemu dengan peri yang mengajarinya cara menanam pohon.
“Ajaib,” gumam anak itu dengan mata berbinar-binar. Dan tanpa berlama-lama, segera saja ia mencari tanah untuk menyemai bibit ajaibnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar